Kolam Waktu



ya! setelah perang berlangsung membunuh ayah dan keluargaku yang lain. tinggal aku yang tersisa, puing-puing bangunan, besi-besi tua, dan kesedihan. selebihnya tinggal keluarga dari pejabat korup yang bersembunyi di bungker pribadi mereka. sebentar lagi maut akan mengetuk pintu bungker mereka. aku yakin itu. mereka terlalu serakah menimbun semua bahan makanan dalam bungker mereka sendiri berharap semua itu bisa mencukupi hidup mereka hingga perang berakhir. padahal jika mereka membuka sedikit pintu bungker mereka. aku yakin mereka akan putus asa dan segera bunuh diri karena tahu kalau perang ini tak akan berakhir dalam waktu dekat.

kami di luar kelaparan, ayah, kakek dan saudara laki-lakiku. sementara ibuku meninggal saat aku dilahirkan. ditengah kecamuk perang, dentuman bom dan aroma mesiu memenuhi ruang penciuman. kami bukan berasal dari keluarga berada. semenjak perang menghancurkan rumah kami, kami hidup di jalanan. aku dibesarkan di jalanan selama bertahun-tahun. aku jadi anak yang lincah dan kurus. acap kali kami harus bersembunyi di balik puing-puing menghindari rentetan peluru dari pesawat udara. aku tidak menyukai kondisi yang seperti ini. tapi mau tidak mau aku harus menikmatinya.

yang aku khawatirkan sekarang adalah kakek yang sudah uzur dan sulit bergerak. sementara bagi kami adalah mustahil untuk menetap. aku malu mengatakannya jika sekarang ternyata kakek adalah beban dari kelompok kami. saat aku mengatakannya kepada ayah ia marah dan mengatakan betapa saat aku masih bayi adalah beban yang harus dilindungi bersama. "seharusnya kau bersyukur Tuhan masih mengizinkan keluarga kita tetap hidup dan masih bisa bersama". aku terenyuh mendengar perkataan ayah. itu ada benarnya. lalu aku melihat kakekku yang sedang menghangatkan dirinya dibalik perapian yang ayah nyalakan tadi sore. matanya begitu sendu dan berair. tapi aku tak melihat dia akan hidup lebih lama bersama kelompok ini.

saat kami mulai kehabisan makanan, kami terpaksa mengetuk bungker-bungker para serakah itu. mengharap ada semangkok gandum yang bisa kami nikmati  bersama. kami menunggu di samping bungker cukup lama hingga kulihat sebuah pesawat mulai terbang rendah dan berputar di atas kami. perang seharusnya tak melibatkan warga sipil seperti kami. kami warga tak berdosa yang ikut menanggung dosa dari perang ini. kami sengsara, kedinginan, dan kelaparan karena perang ini.

tak lama, seorang wanita muda dengan pakaian seperti gorden jendela semampai membuka pintu bungker dan bertanya "apa yang kalian mau?" wajahnya terangkat seolah tak ingin menyamakan ketinggian dengan orang rendahan seperti kami. lalu ayah memohon untuk semangkok gandum dengan permohonan yang begitu memelas tetapi wanita itu menolak memberikannya lalu menutup pintu bungker itu. aku jadi tak mengerti apa maksud wanita itu membuka pintu bungkernya. kami berempat lalu pergi dari bungker itu. tak ada gunanya meminta pada orang yang sama-sama sedang kesulitan. 

saat kami berada tak jauh dari bungker itu, serbuan misil turun seperti hujan dari langit menghantam bungker tadi dan meledak. kami terpencar dan terpelanting. debu mengudara dan menghalangi pandangan. aku terpisah dari ayah, kakek dan saudaraku. aku tak percaya hal ini akan terjadi. pasti tentara itu menyangka kami adalah prajurit dari atas sana. pakaian yang aku kenakan sudah sobek di mana-mana. rambutku semrawut dan kotor berdebu, bulu mataku berubah menjadi warna debu. dunia masih terasa bergoyang, telingaku masih berdenging.

aku berdiri dan mencari kakek, ayah dan kakakku. tapi aku tak menemukan kakakku. saat aku berjalan mendekati bungker, di balik puing-puing itu aku melihat ayahku. entah apa yang dia lakukan nafasnya menderu-deru seperti anjing. dia seperti anjing. saat aku melihat apa yang terjadi. aku tak percaya yang sedang dia lakukan kepada wanita yang membukakan pintu bungker tadi. dia benar-benar sudah gila. 

tanpa sepengetahuannya aku pergi meninggalkannya. dia bahkan tak tahu kalau aku melihat apa yang dia lakukan kepada wanita itu. ada seorang gadis seumuranku sudah terbujur kaku. dia meninggal. aku lalu melucuti pakaiannya. kupikir pakaianku sudah seharusnya diganti. memang tak baik mengambil pakaian dari orang meninggal seperti tadi. tapi jika tidak mengambilnya membuatmu mati. kau pasti akan berpikir untuk mengambilnya juga seperti yang aku lakukan sekarang.

aku berada di sebuah kelompok yang semuanya laki-laki. semestinya aku sebagai seorang perempuan mengenakan gaun untuk perempuan pada umumnya. tapi kami tak memilikinya. kakakku pasti memberiku pakaian miliknya. selama ini aku mengenakan pakaian pemberiiannya. kupikir selama ini juga ia selalu melucuti pakaian mayat anak laki-laki yang seumuranku. ia tak berani melucuti pakaian mayat perempuan. kau tahu sendiri kan, ia laki-laki yang sopan.

aku menemukan kakekku diantara rerutuhan. ia terus memanggil namaku "sofie... sofie.." ia begitu mengkhawatirkanku. aku menangis saat melihat banyak sekali darah yang ia keluarkan. kakinya tertimpa reruntuhan itu. dan ada darah yang menggenang di bawah reruntuhan itu. ia sekarat sekarang. aku melempar pakaian gadis tadi dan berusaha membantu kakekku berdiri. tapi ia malah kesakitan "hentikan sofie, kau akan membuatku mati jika berusaha mengeluarkanku dari reruntuhan ini"

apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkannya. membiarkannya di sini akan membuatnya mati dan mengeluarkannya dari tempat ini pun akan membuatnya mati. aku lalu menangis di sampingnya menceritakan apa yang ayah lakukan terhadap wanita di bungker tadi dan aku tak dapat menemukan kakakku. "berhentilah menangis sofie" kakek menepuk kepalaku, ada debu yang terbang dari rambutku.

lalu dari dekat terdengar suara tembakan dan suara seorang laki-laki berteriak "Larii... drei.. sofie.. siapapun larii!!!" itu suara ayah. ia ditembaki. aku lalu melirik kakekku dan menggenggam erat tangannya. "kau dengar perintah dari pemimpin sofie.. segera lari" suaranya sudah mulai lelah "bagaimana dengan dirimu " aku menghawatirkannya, "tak lama lagi aku akan tiada, aku pergi atau tidak dari tempat ini akan berakhir sama"
"kau tidak akan mati" lalu aku menangis
"pergilah! cepat!"
aku pun mau tak mau pergi dan mengambil kembali pakaian gadis itu yang tergeletak di tanah.

aku berlari menghindari mereka. berlari sejauh-jauhnya. sekarang aku sendiri. kelompokku tinggal sendiri. aku yang akan memimpin diriku sendiri. aku lapar, kotor, dan menangis. lalu memilih tidur di rumah-rumah yang sudah ditinggalkan pemiliknya.

esoknya saat matahari sudah meninggi, aku berjalan ke sekitar dan menemukan sebuah taman dengan kolam air di tengahnya. airnya jernih. aku tak menyangka bisa menemukan air jernih dalam keadaan perang seperti ini. apalagi air kolam, biasanya air kolam bau mesiu atau keruh berlumpur. tapi air ini jernih. aku lalu meraup air itu lalu meminumnya, meraupnya lagi lalu mencuci mukaku, dan membasahi rambut panjangku. aku tak bisa menyebutnya mandi. tapi aku hanya membersihkan badanku.

pikiranku menjadi jernih, tak ada rasa hawatir ada senapan dari jauh yang membidikku. aku seperti berada di tempat yang sangat aman, di waktu berbeda yang berputar lebih lambat. kulitku terlihat putih lagi, bukan kelabu karena debu, rambutku tak harum, tapi ia tak berdebu lagi. aku lalu mengenakan pakaian gadis yang aku bawa sedari kemarin. baju terusan berwarna salem dengan bunga berwarna merah muda dan kuning. begitu indah. selama aku hidup hingga sekarang, aku tak pernah mengenakan pakaian wanita seperti ini. ada dua tali panjang di pinggangku, aku tak mengerti itu untuk apa, aku tak pernah lebih tahu seperti apa pakaian wanita ini. aku meraba-meraba, pakaian ini berlengan pendek dengan bahu yang mengembang. bagian pinggangnya begitu ketat hingga membuatku sulit bergerak. rok nya panjang sekali menutupi matakaki. bahkan menjuntai hingga jika aku berjalan harus mengangkatnya. aku masih mengamati pakaian ini. begitu indah.

saat itu aku tak pernah berpikir bagaimana nanti aku harus berlari dengan repot mengangkat rok yang panjang ini. aku hanya merasa suka sekali dengan pakaian ini. 

cahaya matahari menerobos gedung roboh dan puing-puing kota ini, begitu indah dan hangat, kolam beriak bekas tadi, aku terduduk dan memegangi bibir kolam bundar itu, lalu kolam itu berputar pelan seperti komidi putar, aku memejamkan mata, mungkin ini anemia yang kambuh karena aku tak makan.

pepatah lama menyebutkan jika kau sedang demam, kau tidak boleh pergi ke sungai dan melihat air dibawahmu, karena air itu akan menarikmu. kupikir itu karena kita sedang pusing dan bisa saja kehilangan keseimbangan lalu kita akan terjatuh. kalau kita sedang di sungai ya, kita akan hanyut.

terdengar seorang anak lelaki seusiaku memanggilku berbisik "hey! hey!" aku lalu menoleh ke arahnya. aku kaget sekali saat melihat sekitar. bangunan roboh dan puing-puing itu telah berubah menjadi bangunan megah dan indah seperti ini. tetapi kolam bundar ini tetap sama.

aku masih terheran dan melongo, aku memegangi kedua tali di pinggangku. anak laki-laki tadi begitu tampan, ia mengenakan atasan putih dan celana hijau zaitun. rambutnya coklat gelap dan matanya begitu indah. aksen dan bahasanya tidak aku kenali.

tempat ini begitu sepi, dan hangat. apa mungkin kolam tadi adalah mesin waktu? aku tak tahu berada di mana, siapa anak laki-laki itu, dan mengapa ada bangunan megah di sekelilingku.

ia lalu mendekatiku dan menalikan tali pinggangku.lalu ia berbalik dan menaiki tangga, aku mengikutinya.

Comments

Popular posts from this blog

WARJOK : great place to remember

pengalaman ke Giggle Box jatinangor

Sumedang Larang