Rumah Sasti
Ceritanya dimulai saat aku dan teman
baruku mengadakan pesta makan mie sebelum menghadapi UAS. Sebelumnya kami
membeli mie di mini market, lalu setelah itu pergi k erumah temanku menggunakan
motor. Sasti namanya, dia tinggal berdua saja dengan ayahnya di sebuah komplek
yang disediakan husus untuk dosen sebuah perguruan tinggi. Rumah-rumah itu
dibangun semenjak zaman belanda, terlihat dari arsitek bangunannya yang sudah
tua. Juga susunan rumah yang menunjukan sebuah tingkatan, semakin rumahnya dekat
dengan pusat kegiatan, yang paling besar halamannya, dan paling besar ukurannya
menunjukan rumah itu milik seseorang yang paling dihormati pada zamannya. Dan
aku menuju ke sana.
Meski dekat dengan pusat kegiatan, aku
berani bersumpah komplek ini seperti tak berpenghuni selain pohon-pohon besar
yang berjajar rapi dan burung-burung kecil yang sesekali hinggap di aspal jalan
untuk mematuki makanannya. Rumah ini
masih tampak orisinal, ubinnya masih semen, pintu ruang tamunya dibuatkan dari
kaca yang besar menghadap ke jalan raya, jendela berdaun seperti sayap
kupu-kupunya pun sangat besar di tiap-tiap ruangan. Rumah ini begitu besar dan
hanya dihuni oles sasti dan ayahnya saja. Saat ini, ayah sasti sedang
melanjutkan sekolah, dan sasti tinggal di rumah ini sendiri.
Kami memulai pesta mie itu pukul dua.
Kami membicarakan banyak hal, dan tertawa-tawa sehingga rumah besar ini tidak
terasa kosong lagi. Lalu aku pergi ke dapur untuk mencuci piring bekas makanku.
Berbeda dengan ruang tamunya yang semuanya serba kaca, dapur rumah sasti hanya
ada satu jendela kecil dan begitu lembab karena berdekatan dengan kamar mandi
yang memiliki bak mandi sangat besar. Aku yakin, cahaya akan sangat sulit untuk
menembus jendela kecil ini, karena di belakang rumahnya ada pohon alpukan yang
tinggi dan rimbun.
Setelah makan mie, kami lalu menonton
film di kamar sasti hingga pukul empat, hujan lalu terdengar turun dan terlihat
dari jendela kamar sasti yang besar. Aku melihat dua rumah kosong yang
berdektatan dengan rumah sasti. Dan rumah-rumah kosong lainnya di sekitar
komplek.
“Ti, tetangga kamu pada kemana?”
“di blok ini, Cuma rumah ini yang
masih ada penghuninya. Yang lain udah pada pindah” begitu jawab sasti tanpa ada
beban.
Setelah selesai menonton film tadi,
tak ada film kedua yang akan kami tonton. aku pun tak bisa pulang karena hujan
belum mereda. Lalu tiba-tiba ada kucing melintas dari arah dapur.
“kucing siapa itu, ti?” tanyaku yang
kedua kali.
“oh, itu kucing tetangga...
ketinggalan” sasti masih menjawab dengan nada yang enteng. Kucing itu mengeow
dan menggapai-gapai pintu depan, ingin keluar. Lalu sasti berjalan ke ruang
tamu untuk membukakan pintu.
Saat hujan seperti ini, rumah sasti
mendadak menjadi sepi. Aku tak memiliki topik pembicaraan, sementara sasti asik
main hp. Aku yang duduk dekat ranjang kamar sasti bisa langsung melihat
langsung ke arah pintu kaca ruang tamu. Di luar begitu mendung dan gelap
sehingga ruang tamu yang belum dinyalakan lampunya begitu suram seperti dalam
film zaman penjajahan belanda.
Lalu kucing yang tadi melintas lagi,
mengeow dan meronta ingin masuk rumah lagi, aku memperhatikannya, lalu kucing
itu kabur seperti akan ada orang. Lalu aku melihat melalui jendela kamar. Ah,
tidak ada yang datang pikirku. Kucing aneh.
Sudah hampir magrib, dan hujam masih
belum reda, rumah ini semakin suram karena matahari semakin menjauh. Rumah ini
memang memiliki banyak ventilasi, dan sudah seharusnya dingin. Tapi dingin ini
berbeda, aku tak henti-hentinya memegangi tengkukku dan leherku, seperti
kegelian dengan tiupan angin di belakangku. Aku melihat asti, sahabatku yang
sedari tadi mengotak-atik hp nya.
Sadar aku memperhatikan dirinya, dia
lalu berkata,
“kamu nginep di sini aja, sol”
“aduh, gimana ya...” aku merasa tak
nyaman berlama-lama di sini.
“udah gelap, hujan, motor kamu
lampunya mati kan?” cecar sasti memastikanku untuk bermalam di rumah ini. lalu
dengan sangat terpaksa aku meng-iya-kan, dan menelepon orang tuaku. Aku hendak
bercerita perihal perasaan yang menggangguku sedari tadi. Sampai ada yang
mengetuk pintu kaca di depan sana. Aku diam mengamati pintu ruang tamu itu.
Lalu melirik kepada sasti. Dia masih asyik dengan hp nya. Lalu ketukan itu
berulang,
“ti, itu ada yang ketuk...” ujar ku
terbata-bata.
“siapa?” dia mulai serius menanggapiku
Dari posisiku sekarang, sungguh sangat
memungkinkan untuk melihat siapa yang mengetuk pintu di luar sana, tapi mataku
tak membohongiku saat terdengar suara ketukan itu lagi, tak ada siapa-siapa di
balik pintu sana.
“ngga ada siapa-siapa, ti” ujarku
kebingungan, dan ketukan pintu itu terus menerus berulang sampai akhirnya sasti
membukakan pintu depan, dan raut mukanya sedikit kaget. Lalu mengunci pintu,
dan menutup gorden.
“kenapa?” tanyaku penasaran.
“itu, kunci rumah tiba-tiba ada di
luar. Biasa ko” dia berkata seolah semuanya adalah wajar. Tak terasa waktu
terus mengalir. Karena tak ada pekerjaan lain selain menghafal, akhirnya aku
tumbang duluan di pukul 8, sementara sasti masih menekuni buku-bukunya di atas
meja belajar dengan cahaya yang temaram. Dia memang anak yang tekun, dan aneh.
Ketika tengah malam aku terbangun dan
hendak pergi ke air, rupanya sasti tertidur di meja belajarnya. Aku ingin
sekali membangunkannya supaya dia bisa mengantar aku ke air. Tap iaku tak tega,
dan membiakannya tetap tertidur
Tak ada kejadian aneh saat aku berada
di air, dan aku kembali ke kamar, lalu mematikan lampu kamar. Karena aku
terbiasa tidur dalam keadaan gelap. Aku menyelimuti tubuhku dan hendak tidur,
tapi kaki yang dingin membuatku tetap terjaga. Sulit sekali tertidur dengan
kondisi dingin yang seperti ini. lalu aku hanya menerawang langit-langit kamar
sampai lama kelamaan saat semuanya mengambang diantara dunia tidur dan dunia
sadar, aku mendengar derap kaki kuda dan suara kereta kuda datang mendekat. Dan
itu membuatku kembali terjaga. Lalu suara itu menghilang dan digantikan oleh
suara gamelan yang sayup-sayup.
Di komplek tak bertetangga seperti
ini, siapa juga yang menyalakan musik gamelan malam-malam. Bulu kudukku
berdiri, jantungku berdetak sangat kencang, kakiku semakin dingin. Aku menarik
selimutku hingga menutupi kepala. Sebenarnya aku tak tega membiarkan sasti
tertidur di meja belajarnya, tapi ketakutanku membuat aku tidak berani
mengeluarkan anggota badanku keluar dari selimut ini.
Sementara suara gamelan masih sayup
terdengar menjauh dan mendekat. Dari intipanku, aku melihat sasti bangki dari
tidurnya yang membelakangiku. Bayangan tubuhnya dari lampu belajar yang redup
menimpa mataku. Saat kulihat dia duduk
dengan tegak, “ada yang ganjil” pikirku dalam hati. Sasti selama ini memiliki
postur tubuh yang agak bungkuk, tapi
saat itu dia duduk seperti seperti seorang sinden. Aku lalu memanggilnya dengan
penuh ketakutan “ti...” aku takut sekali kalau ternyata itu bukan dia.
Setelah kupanggil seperti itu, dia tak
kunjung menoleh dan malah melantunkan lagu-lagu sunda. Aku hanya merapatkan
selimut dan meringkuk gemetaran. Seluruh tubuhku dingin, dan ritme jantungku
begitu cepat, seolah pada saat itu tak ada suara lain yang bisa kudengarkan,
semuanya terfokus pada indera pendengaranku. Hanya suara-suara gamelan gaib itu
dan sasti yang bernyanyi. Terkadang suaranya melengking menyeramkan, dan
terkadang begitu syahdu.
Aku hanya berharap ini segera berakhir
dan segera pagi, aku mendengar suara sasti membukakan pintu kamar, dia masih
melantunkan lagu-lagu itu hingga hpnya di meja bergetar begitu lama dan sasti
mulai tersadar.
“loh, sol...” sasti mematikan hpnya
lalu membuka selimutku. Aku setengah berteriak ketakutan dan menangis
tersedu-sedu dengan keringat dingin membasahi bajuku. “kamu demam, sol..” aku bahkan tak menyadari
kalau tubuhku meriang dan gemetaran kuat. Aku tak kunjung membuka mataku, dan
terasa sasti menyelimutiku lagi. Dan malam itu pun berakhir.
waw oh asti ya ? hha
ReplyDeleteiah waw :D
ReplyDelete