WARJOK : great place to remember


Pukul lima Bu Asih sudah berada di pasar membeli bahan-bahan makanan dan keperluan warungnya. Bersama Sang Suami tercinta, yang bernama pak Ajat, mereka menerobos gelapnya jalan. Hal ini ia lakukan untuk membantu suaminya mencari nafkah dan menghidupi kedua anaknya yang masih mengenyam pendidikan (bersekolah).
Bu Asih yang sudah akrab dipanggil Ibu atau Ibi oleh siswa siswi Sekolah Menengah Atas Negeri Tanjungsari ini sudah memulai karirnya sebagai penjaga warung di SMAN Tanjungsari dari tahun 1992 hingga sekarang. Dahulu bangunan yang digunakan sebagai warung ini adalah bekas ruangan BP/BK.
Sebelum jam tujuh pagi, biasanya sudah ada satu atau dua orang pengunjung setia menunggu kedatangan Ibi dari pasar untuk sarapan pagi. Warung ini mulai buka dari jam tujuh kurang pagi hari, oleh karenanya siswa siswi yang ingin sarapan harus menunggu hingga Ibi pulang dari pasar.
Uniknya warung yang dimiliki oleh Ibi ini mempunyai nama trademark dari generasi ke generasi, yaitu WARJOK atau warung pojok. Nama yang diberi oleh siswa siswi SMA erat kaitannya dengan lokasi warung yang berada di pojok sekolah.
Warjok ini begitu dicintai oleh pembelinya karena makanan yang dijual begitu beraneka ragam mulai dari gorengan seperti bala-bala, gehu, tempe, cireng, lalu makanan ringan seperti ciki dan kerupuk, kue dan roti, makanan beratnya seperti mie, nasi timbel, nasi kuning, dan minuman gelas atau botol. Meskipun begitu Ibi selalu menyediakan air mineral galon geratis untuk siwa-siswi yang ingin minum secara cuma-cuma.
Dalam wawancaranya, Ibi warung merahasiakan pendapatannya per hari tetapi hanya menyebutkan kalau pendapatannya perhari itu tidak menentu, tergantung pada jajanan yang dibeli oleh siswa siswi, apakah banyak atau sedikit. Tetapi jika dilihat dari seberapa lama Ibi berjualan (1992)  hingga sekarang, terlihat bahwa penghasilannya menjanjikan dan relatif tetap sehingga mampu menambah penghasilan suaminya.
Bukan hanya siswa siswi yang hobi atau senang mengunjungi warjok ini, tetapi guru-guru, pegawai Tata Usaha, guru BP pun senang mengunjungi warjok karena gorengan yang disediakan selalu hangat. Namun, dari kalangan siswa, yang paling banyak mengunjungi warjok adalah dari siswa IPS. Karena letak warjok yang tidak terlalu jauh dari kelas IPS.
Tiap harinya Ibi warjok tidak pernah lepas dari adonan gorengan dan katel penggorengan tercintanya. Jika sedang laris diperkirakan lebih dari 3 baskom adonan gorengan ludes terjual.
Umumnya pengunjung datang pada waktu istirahat, namun tidak sedikit pula siswa yang datang ketika pada saat waktu luang  perpindahan pelajaran untuk mengisi perutnya atau sekadar nongkrong menghilangkan penat.
Suasana warjok selalu dipenuhi oleh siswa siswi yang kelaparan, selain itu karena lokasi warung yang terletak di pojok sekolah, ruangan warung ini tampak begitu gelap seperti bunker penyedia makanan di saat perang, begitu tersembunyi, gelap, dipenuhi makanan.
Warung pojok ini memiliki tiga bangku panjang yang sediakan Ibi untuk siswa-siswi makan dan nongkrong-nongkrong. Tetapi karena kunjungan yang membeludak sangat banyak saat istirahat, tiga buah bangku panjangpun tidak akan mampu menampung  banyaknya siswa, oleh karena itu banyak diantaranya yang membungkus jajanannya atau memakannya di depan laboratorium bahasa yang letaknya bersebelahan dengan warung.
Di kelas dua belas IPA tiga, ada beberapa orang penggemar jajanan warjok, diantaranya adalah Ratu, Suci, Anisa, Fachrizal, dan Puri. Bahkan Ratu menyebut rekannya Suci dengan sebutan “Teman Warjok” atau sekadar memanggilnya dengan landian “Jok!” karena kegemarannya untuk pergi ke warjok.
Menurut penuturan Ratu, kehadiran warjok dirasa sangat vital, utamanya bagi siswa-siswi yang tidak sempat sarapan di rumahnya, Ratu juga menuturkan kalau makanan favoritnya di warjok adalah bala-bala, gehu, nasi kuning, dan cireng.
Tak jauh berbeda dengan pendapat Anisa mengenai kehadiran warjok, yaitu sebagai penyalur aspirasi perut, dan banyaknya variasi makanan ringan yang dijual tidak akan membuat kita bosan, bahkan sering kita temui jajanan pasar seperti kue basah, yang sudah jarang kita temui di warung-warung biasa.
Selain dilihat dari aspek kualitas makanan, Puri juga menilai warjok dari kualitas lingkungan. “kalau masih sepi, warjok itu tempatnya enak buat ngobrol-ngobrol bareng temen, sambil ngemil bala-bala anget.” Begitu tuturnya kepada kami saat diwawancarai di waktu senggangnya.
Pendapat Fachrizal mengenai warjok begitu singkat, “kantin yang ajib, lah!! Enak buat ngumpul-ngumpul sambil becanda” pendapatnya yang singkat sudah mewakili seluruh isi hatinya mengenai warjok.
“Selain gorengannya yang lezat, ukuran gorengannya pun lebih tebal dari warung-warung yang lain, harganya lima ratus rupiah, dan untuk ukuran siswa jelas menu di warjok adalah pilihan tepat, kalau pandai-pandai dengan uang tiga ribu rupiah kita sudah bisa memenuhi aspirasi perut dengan nasi timbel seharga Rp 1500, gorengan seharga seribu rupiah, dan air mineral lima ratus rupiah.” Begitu tutur Suci yang dengan begitu detail menjelaskan segalanya.
Kehadiran warjok yang dirasa vital bagi siswa, kami berharap disediakannya warung pojok yang lebih luas dan tidak mendem (gelap),  sehingga kenyamanan siswa saat mengisi perut dapat lebih terjamin. Memang benar, kehadiran siswa di sekolah adalah untuk menuntut ilmu, bukan untuk makan di warjok. Tetapi dengan warjok yang lebih luas dan tidak mendem akan menjadikan suatu nilai tambah bagi Sekolah Menengah Atas Negeri Tanjungsari.
Warjok dengan segala sisi gelapnya (memang selalu gelap) pastilah menjadi suatu tempat yang akan selalu kita kenang saat kita berpisah nanti. WARJOK : Great Place To Remember.

Comments

Popular posts from this blog

Sumedang Larang

I not supid