Curug Malela


Pengalaman paling seru ketika SMA adalah saat aku pergi berkemping bersama 5 orang lain yang belum aku kenal,dan seorang teman sekelas. menuju curug malela selama tiga hari. Kunamai grup itu sapta rangers. Mereka semua adalah pandu, kecuali aku. Mungkin seperti sebuah ‘iseng’ ketika meng iyakan ajakan teman pergi berkemping, ke suatu tempat nun jauh. 
Tapi siapa yang menyangka ‘iseng’ itu membawa kami -sapta rangers- dalam kegentingan yang melelahkan layaknya film 127 Hours. Pada saat keberangkatan kami berdoa “semoga kami selamat sampai tujuan” doa pagi itu seperti sebuah skenario spesial dari Sang Pencipta untuk kami. 
Pada awalnya, perjalanan menuju Curug begitu menyenangkan. Bahkan pada saat kami tidak kebagian tempat duduk dan terpaksa naik di atas sebuah mobil Elef, kami tetap saja ceria. Tapi ketika menghadapi perjalanan kaki selama kurang lebih 6 jam, semangat kami seolah menguap layaknya keringat yang bercucuran lalu menguap meninggalkan garam di dahi kami. 
6 jam, tanpa tempat teduh dan persediaan air yang terus menipis. Aku membawa 2 liter air dalam ranselku dan tanpa sepengetahuan temanku, kuiisi wadah airku dengan air sumur mentah di mesjid warga. Aku tak peduli, karena airnya kujamin mendidih saat perjalanan karena saking panasnya. 
Saat kurasakan kakiku mulai lecet, akhirnya kami sampai di Curug Malela. Kami beristirahat sejenak lalu bersegera mendirikan tenda, saat itu gerimis turun. Putra dan putri memasuki tendanya masing-masing. Lalu gerimis berubah menjadi hujan, ketika setetes air bocor saat itu, sejam kemudian tenda kami benar-benar dipenuhi air seperti kolam ikan. Semua putri melipat celananya dan membuka pintu tenda, menyiduki airnya segelas demi segelas. Saat tadi sore air terjun itu terbagi menjadi 7 air terjun kecil, percaya atau tidak, malam itu kami seperti sedang berada di hadapan air terjun niagara. Besar sekali, sampai tanah seolah bergetar karena airnya begitu besar. 
Alhasil kami nyaris tidak beristirahat malam itu, dan sangat kedinginan. Sampai subuh hari hujan masih terus turun. kami menyiapkan sarapan dan menjemur diri di bawah sinar matahari yang sedikit demi sedikit menuruni lembah tempat kami berkemah. 
Saat penat mulai pergi, kami pun berkemas meninggalkan air terjun niagara itu. Beban kami lebih berat dari sebelumnya karena, membawa pakaian basah, dan tenda basah.Kakiku mati rasa dan tidak bisa merasakan lecet atau pegal sekalipun, yang aku tahu hanya berjalan, dan ketika menemukan turunan, aku sedikit berlari. Terus seperti itu dari bukit satu ke bukit lain. Wadah airku terus kuisi dengan air mentah di sumur warga. dan bukan aku saja yang meminum air dari wadah itu. Semua orang meminumnya.
 Beruntung kami mendapat tumpangan truck, dan tanpa kusadari salah seorang dari kami tertinggal begitu saja di belakang kami, hanya terpisah mungkin satu bukit dari kami. Dan kami pergi meninggalkannya. Tanpa alat komunikasi apapun. Parahnya lagi, kami terlalu lelah untuk memikirkan hal itu, seolah itu bukan urusan kami. Meski pada akhirnya kami memutuskan untuk turun dari mobil itu dan kembali menyusul seorang yang tertinggal. 
Tegang. Perjalanan pulang ini seakan akan ada harimau menerkam di tiap langkahnya. Aku terus menerus bergumam dalam hati “ya Allah, aku bahkan baru sehari mengenal dia. Bagaimana jika aku berurusan dengan polisi jika dia meninggal ditengah jalan”. Kami berlari menuju terminal elef terakhir berharap menemukan dia sedang menunggu. Dan untungnya sekali ada. Belum sempat kami menyapa dia yang kelelahan setelah berlari, kami disuruh berkumpul oleh kakak pramuka yang sempat menyusul di pagi hari. 
Kami dinasihati, dan dimarahi habis-habisan. Aku hanya bisa menatap ujung sepatuku, dan berharap bisa menyumbat lubang air mataku saat itu. Perjalanan pulang hingga pukul 9 malam, kami  menggunakan minibus cileunyi-cililin, yang seolah sedang menaiki roller coaster. Bus itu akan menggila saat kondektur berteriak sesuatu. Sementara aku, aku hanya mampu sebatas memejamkan mataku dan memeriksa apakah ada anggota kelompok yang berkurang. 
Semenjak itu aku sadar.Saat berdoa, maka kita harus menuntaskan doa itu. “semoga kami selamat sampai tujuan, dan selamat ketika pulang”.


persiapan keberangkatan dari smp raihan

nunggu bis di terminal leuwipanjang

dalam bis madona

alfamart buni  jaya

pemberhentian bis terakhir, lanjut naik elef

sudah mulai berjalan kaki

marka MALELA

kaki

pura-pura ga liat kamera

air bersih

mendirikan tenda dan minum dulu

nuangin air minum

kaki juga

keesokan hari setelah hujan lebat semalam

airnya bergemuruh

makan pagi

bagi-bagi

mulai makan

sambil menikmati curug

makan

ini curug

ini tia

ini perlengkapan

hati-hati

foto -nggak- bersama

Comments

Popular posts from this blog

WARJOK : great place to remember

Sumedang Larang

I not supid