Sumedang Larang
Insun medal, insun madangan
Kaula bijil nyaangan
Ceuk Uga, Sumedang teh ngarangrangan
Kiwari sirungan deui
Hanjuang jadi perlambang
Cacandran dayeuh Sumedang
Kutamaya panganjrekan nu baheula
Jadi ciri kadigjayan
Diriung ku gunung-gunung
Gungung puyuh pangupukan
Palasari mawa sari
Gunung konci jadi saksi
Tampomas nu mawa endah
Matak sungkan nu rek mulang
Patanina sugih mukti
Padagang saruka senang
Pangagung jeung rahayatna, runtut raut sauyunan
Dina ngudag kamajuan
Singkil sabilulungan ngalaksanakeun pangwangunan
Bari nyekel deleg agama jeung darigama
Dibalur jejer “Sumedang Tandang Nyandang Kahayang”
Asal Kata Sumedang
Yang menjadi pokok berdirinya Sumedang Larang adalah Prabu Agung Resi Cakrabuana, yang dipanggil juga Prabu Tajimalela, atau Batara Tungtang Buana.
Prabu Tajimalela pernah mengatakan “Insun Medal; Insun madangan” arti dalam bahasa sundanya adalah kaula bijil, kaula nyaangan (saya lahir, saya menerangi). Nama Sumedang diambil dari dari kata Insun Madangan. IN yang berada di depan dan AN yang berada di belakang kata tersebut dihilangkan, dan tinggal kata “SUN” dan “MADANG”, dua kata tersebut dijadikan sebuah kata, menjadi SUNMADANG. Dua kata tersebut jika diucapkan dengan tempo cepat, maka yang terdengar adalah Sumedang.
Akan tetapi, sampai sekarang belum ada yang menyatakan kata Sumedang dalam bentuk etimologi ataupun arti kata secara ilmiah.
Sejarah Sumedang Larang
Raja yang mendirikan nagara Sumedang Larang adalah Prabu Agung Resi Cakrabuana, atau Prabu Tajimalela, yang berjaya pada tahun 950-an (abad ke-10).
Yang pertamakali mendirikannya adalah nagara Tembong Agung. Pusat kotanya berada di Leuwi Hideung, yang sekarang menjadi kecamatan Darmaraja.
Prabu Tajimalela memiliki tiga orang putra :
1. Prabu Lembu Agung
2. Prabu Gajah Agung
3. Sunan Geusan Ulun
Prabu Tajimalela memerintahkan kepada putranya yang dua, taitu Prabu Lembu agung dan Prabu gajah agung. Salah seorang harus menjadi Ratu, dan seorang lagi menjadi wakilnya. Tapi kata kakaknya, adiknya saja yang menjadi Ratu. Dan kata adiknya, kakaknya yang menjadi Ratu. Dua-duanya malah berselisih, dan tak ada yang menyanggupi menjadi seorang Ratu. Ayah mereka memerintahkan keduanya berangkat ke Gunung Nurmala, yang sekarang menjadi gunung Sangkanjaya. Kedua putranya diperintahkan harus menunggui pedang dan kelapa muda.
Prabu gajah agung kehausan, dan ketika kakaknya pergi ke sungai, dirinya meminum air kelapa muda tersebut. Keputusannya Prabu Gajah Agung dijadikan Ratu, dan kakaknya menetap di Leuwi Hideung.
Awalnya yang menjadi pengganti Prabu Tajimalela adalah Prabu Lembu Agung. Tetapi dirinya tidak sanggup menjadi Ratu dan meneyerahkan tahta kepada adiknya, Prabu Gajah Agung.
Kerajaan Sumedang Larang pindah ke daerah Ciguling (sekitar Sumedang Selatan), dan menjadikan pusat kotanya disana. yang mendirikannya adalah Prabu Gajah Agung.
Berdirinya nagara Sumedang Larang di Ciguling kurang lebih tahun 980. Prabu Gajah Agung meninggal dunia, makamnya di daerah Cicanting, Darmaraja.
Beliau meninggalkan dua orang putra, yaitu :
1. Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi, tidak menjadi Ratu karena pindah ke Pakuan Pajajaran.
2. Sunan Guling, yang meneruskan menjadi Ratu Sumedang Larang.
Prabu Gajah Agung meninggal dunia, dan digantika oleh anaknya Sunan Guling kurang lebih pada tahun 1000. Ketika Sunan Guling meninggal, beliau dimakamkan di Ciguling. Dan yang menjadi Ratu adalah Sunan tuakan, putra semata wayangnya. Sunan Tuakan dimakamkan di heubeulisuk, desa Cinanggerang, kecamatan Tanjungsari yang sekarang. Sunan Tuakan memiliki seorang Puteri namanya, Nyi Mas Ratu Patuakan yang seterusnya menggantikan ayahandanya memimpin kerajaan.
Setelah Nyi Mas Ratu Patuakan meninggal dunia, dan digantikan oleh putranya Nyi Mas Ratu Dewata (tahun 1530-1578). Beliau mendapat julukan Ratu Pucuk Umum.
Ratu Pucuk Umum menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra dari pangeran Pamalekaran, yang masih putra dari Aria Damar Sultan Palembang, yang masih memiliki darah Majapahit. Dari pihak ibunya, Ratu Martasari yang keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan adanya pernikahan Ratu Pucuk Umum dengan Pangeran Kusumahdianata, maka agama islam mulai menyebar di Sumedang Larang. Dari waktu itu, pusat kota dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Pangerang Kusumahdinata mendapat gelar Pangeran Santri. ia belajar di sebuah perguruan Agama islam di Cirebon, dan menyebarkan ilmunya di Sumedang Larang
Ratu Pucuk Umum memiliki enam orang anak dari pernikahannya dengan Pangeran Kusumahdianta, yaitu :
1. Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun)
2. Kiai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu dari Narimbang supaya memeluk agama Islam.
3. Kiai Demang Watang
4. Santowaan Wirakusumah
5. Santowaan Cikeruh
6. Santowaan Awiluar
Ratu Pucuk Umum dan Pangeran Santri dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede, di kota sumedang sekarang.
Tidak ada lagi yang menggantikan Ratu Pucuk Umum, kecuali anaknya yang pertama, yaitu Pengeran Angkawijaya (1579-1601)
Pada saat itu Pajajaran Galih Pakuan sedang mengalami konflik karena adanya serangan dari Banten yang dipimpin oleh Sultan Maulana yusuf, dalam rangka menyebarkan agama islam.
Dengan adanya penyerangan tersebut, rakyat Pajajaran Galih Pakuan melarikan diri ke berbagai tempat. Prabu Siliwangi mengutus Kandaga Lante untuk memasrahkan barang amanat kepada Prabu Geusan Ulun. Sesudah itu, Kandaga Lante diperintahkan oleh Prabu Geusan Ulun untuk bersama dengan rakyatnya mencari tempat perlindungan.
Kandaga Lante adalah prajurit-prajurit kepercayaan Prabu Siliwangi, yang diutus untuk menghadap Prabu Geusan Ulun, memasrahkan mahkota emas, benten, siger, tampekan, kilat bahu, kalung bersusun dua, dan kalung bersusun tiga.
Knadaga Lante yang empat adalah :
1. Sanghiyang Hawu, disebut juga Embah Jayaperkosa
2. Batara Dipati Dirawijaya, atau juga embah nangganan
3. Sanghiyang Kondang Hapa
4. Batara Pancar Buana, atau juga Embah Terong Peot
Dengan datangnya Kandaga Lante ke Sumedang Larang, hakikatnya adalah ciri bahwa nagara Pajajaran Galih Runtag (8 Mei 1779) masuk ke wilayah Sumedang Larang. Sehingga nagara Sumedang Larang menjadi bertambah luas, dari batas barat sungai Cisadane, batas timur sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta) batas dari utara laut jawa, dan batas dari selatan samudra hindia.
Ketika itu, sudah banyak rakyat yang menganut agama islam. Di Demak terucap ada sebuah perguruan yang terkenal, dan menjadi tempat penyebaran agama islam.
Prabu Geusan Ulun pergi ke Demak di kawal oleh Kandaga Lante. Maksudnya pergi ke Demak adalah berguru untuk mempelajari agama islam lebih dalam.
Sepulangnya berpesantren, Prabu Geusan Ulun sengaja singgah di Cirebon, untuk bersilaturahi menemui Panembahan ratu. Begitu bahagianya Panembahan ratu karena dapat bertemu dengan saudara jauhnya (masih keturunan Sunan Gunung Jati).
Prabu Geusan Ulun diperlakukan sangat sopan oleh para pengisi keraton Cirebon. Dan rakyat Cirebon memuji sikap Prabu Geusan Ulun yang bahasanya bagus, dll. Bahkan Ulama di Cirebon menyatakan bahwa Prabu Geusan Ulun adalah seorang pemimpin yang patut dicontoh, dan baik perilakunya.
Prameswari Panembahan Ratu, yang namanya Ratu Harisbaya, menyukai Prabu Geusan Ulun. Dan ikut ke Sumedang.
Suatu hari, Panembahan Ratu mengirim surat kepada Prabu Geusan Ulun untuk memulangkan Ratu Harisbaya ke cirebon. Hanya saja, Ratu harisbaya menolak pulang ke Cirebon, dan di cerai oleh Panembahan ratu. Untuk menebus perceraiannya itu, Prabu Geusan Ulun melepaskan wilayah sebelah timur sungai Cilutung.
Sampai pada tahun 1601 M. Prabu Geusan Ulun merupakan raja pamungkas Sumedang Larang, sebab nantinya Sumedang Larang Pada akhirnya tersisih oleh kerajaan Mataram, pangkat raja diganti menjadi Bupati.
Karena adanya perselisihan dengan Cirebon, pusat kota sumedang larang pindah ke gunung Rengganis. Di Dyeuh Luhur, Prbu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya meninggal dunia dan dikuburkan di sana.
Dari ketiga istinya, Prabu Geusan Ulun memiliki 15 anak, yaitu :
1. Pangran Rangga Gede
2. Raden Aria Wiraja
3. Kiai Kadu Rangga Gede
4. Kiai Rangga Patra Kalasa
5. Raden Aria Rangga Pati
6. Raden Ngabehi Watang
7. Nyi Mas Demang Cipaku
8. Raden Ngabehi Martayuda
9. Rd. Rg. Wiratma, di Cibeureum
10. Rd, Rangga Niti Nagara, di pagaden jeung pamanukan
11. Nyi Mas Rangga Pamade
12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
13. Rd. Suria Diwangsa
14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
15. Raden Kiai Demang Cipaku
Setelah kematian Prabu Geusan Ulun, Sumedang Larang dibagi menjadi dua, yaitu Sumedang yang dipegang oleh anak sulung dari pasangan Prabu Geusan Ulun dan Istri Pertamanya, pusat kotanya di Canukur, yang sekarang menjadi kecamatan situraja. Dan yang satunya lagi dipegang oleh Raden Suriadiwangsa anak dari Ratu Haribaya. Pusat kotanya di Tegal Kalong.
Bupati-Bupati Sumedang
Bupati di Zaman Mataram :
1. Pangeran Suriadiwangsa (Kusumahdinata III) Rangga Gempol 1 (1601-1625)
2. Pangeran Rangga Gede Kusumahdinata IV. (1625-1633)
3. Pangeran Kusumahdinata V, Rangga gempol II (1633-1659)
4. Pangran panembahan Kusumahdinata IV, Pangeran Rangga Gempol III
Bupati di zaman Kompeni (VOC)
1. Pangeran Kusumahdinata/Pangeran Karuhun (1709-1744)
2. Dalem Istri Raja Ningrat (1744-1759)
3. Dalem Kusumadinata VIII (Dalem Anom, 1759-1761)
4. Dalem Adipati Surianagara II (1761-1765)
5. Dalem Adipati Surialaga (1765-1773)
Bupati Penyelang
1. Dalem Adipati Tanubaya (1773-1789)
2. Dalem Adipati Patrakusumah
3. Dalem Aria Sacapati (1789-1791)
Para Bupati Keturunan Sumedang dan Seterusnya
1. Pangeran Surianagara (Kusumadinata) Pangeran Kornel (1791-1828)
Para Bupati Zaman Hindia Belanda/Jepang
1. Dalem Adipati Kusunayuda (1828-1833)
2. Dalem Kusumadinata (Dalem Alit, 1833-1834)
3. Patih Wakil Bupati Tmg. Suriadilaga (1834-1836)
4. Pangeran Suria Kusumah Adinata, pangeran Sugih (1836-1882)
5. Pangeran Aria Suria Atmaja, Pangeran Mekah (1882-1919)
“Baris Ka Sagala Barudak Sunda”
Aing neneda ka gusti Nu Maha Kawasa muga-muga ati maraneh dibukakeun kana panemu (elmu), lamun maraneh ngadenge papatah nu hade supaya tereh ngaharti sumawona kana papatah-papatah nu geus sababaraha taun dipapatahkeun supaya di imankeun wanti-wanti pisan.
Paneda aing ka Gusti Allah supaya maraneh pinaringan kabungahan jeung rejeki di dunia ieu tepi kana poe bungsuna (ajal), sarta muga dijauhkeun tina bahla jeung pinaringa umur panjang, kitu deui masing runtut rukun jeung baraya maraneh, muga ulah aya saurang oge maraneh nu ereun mikaheman sakabehna nu maparin ganjaran ka maraneh.
Cekel papatah aing ieu, supaya ulah aya saurang oge tina antara maraneh nu boga ati bingung lamun matak manggih bahaya nu kasebut di dieu, karana papatah aing ieu nyaeta buktina nu dipaparinkeun ka urang sarerea. Sarta lamun aing nerangkeun ka maraneh buktina tea, nyaeta saestu-estuna didatangkeunnana ku Nu Maha Kawasa.
Puguh maraneh dikawasakeun pikeunbisa narima isarat nu didatangkeun ku Gusti Allah ka maraneh.
Maraneh bisa maksa ngeureunkeun kalakuan nu goreng, karana Gusti Allah nu Kawasa nuduhkeun kana jalan nu mulus ka maraneh dilampah di dunia ieu.
Tangtu maraneh jadi conto pikeun diturutan ku sasama maraneh jeung tangtu sakabehna manusa sarukaeun ka maraneh.
Sarta beh dituna maraneh ngarasa bagja tepi ka anak incu.
Maraneh sarerea nu saendengna pada angarimankeun kana maksud aing tea, aing nyerenkeun eta papatah aing anu panungtungan, sakedah polah, karana aing ngarasa geus kolot moalsabaraha deui nya umur.
Kulantaran tulisan aing ieu supaya mangke dimana urang geus papisah, muga-muga maraneh jadi jalma pinter, bisa ngaji jeung ngingetkeun carita ieu, dipikir beurang jeung peuting.
Jeung beh dituna muga-muga bisa nurutan karuhun maraneh muga-muga bisa mindahkeun naon kakurangan diri maraneh muga salawasna diraksa.
Lamun maraneh geus ngarasa kapapatahan dulur cara aing kapapate nan ku karuhun aing, poma maraneh ulah rekpoho ngahormat, nulungan jeung nurut ka nu wajib pikeun maraneh narandakeun jalan kabeneran sanajan ku jalan sejen.
Eta panghormat aing panungtungan ka maraneh, samemehna nyawa aing dipundut ku Nu Kagungan.
Ku sabab eta nyawa aing di akherat moal era ku bangsa sasama aing, yen aing geus ditakdirkeun ku Gusti Allah dilantarankeun pitulungna Kangjeng Gouvernement dijadikeun purah mamatahan jeung ngajak ka maraneh sarerea.
Sakitu wae pamenta aing, kamaraneh sarerea supaya diturut.
Pangeran Aria Suria Atmaja
Kaula bijil nyaangan
Ceuk Uga, Sumedang teh ngarangrangan
Kiwari sirungan deui
Hanjuang jadi perlambang
Cacandran dayeuh Sumedang
Kutamaya panganjrekan nu baheula
Jadi ciri kadigjayan
Diriung ku gunung-gunung
Gungung puyuh pangupukan
Palasari mawa sari
Gunung konci jadi saksi
Tampomas nu mawa endah
Matak sungkan nu rek mulang
Patanina sugih mukti
Padagang saruka senang
Pangagung jeung rahayatna, runtut raut sauyunan
Dina ngudag kamajuan
Singkil sabilulungan ngalaksanakeun pangwangunan
Bari nyekel deleg agama jeung darigama
Dibalur jejer “Sumedang Tandang Nyandang Kahayang”
Asal Kata Sumedang
Yang menjadi pokok berdirinya Sumedang Larang adalah Prabu Agung Resi Cakrabuana, yang dipanggil juga Prabu Tajimalela, atau Batara Tungtang Buana.
Prabu Tajimalela pernah mengatakan “Insun Medal; Insun madangan” arti dalam bahasa sundanya adalah kaula bijil, kaula nyaangan (saya lahir, saya menerangi). Nama Sumedang diambil dari dari kata Insun Madangan. IN yang berada di depan dan AN yang berada di belakang kata tersebut dihilangkan, dan tinggal kata “SUN” dan “MADANG”, dua kata tersebut dijadikan sebuah kata, menjadi SUNMADANG. Dua kata tersebut jika diucapkan dengan tempo cepat, maka yang terdengar adalah Sumedang.
Akan tetapi, sampai sekarang belum ada yang menyatakan kata Sumedang dalam bentuk etimologi ataupun arti kata secara ilmiah.
Sejarah Sumedang Larang
Raja yang mendirikan nagara Sumedang Larang adalah Prabu Agung Resi Cakrabuana, atau Prabu Tajimalela, yang berjaya pada tahun 950-an (abad ke-10).
Yang pertamakali mendirikannya adalah nagara Tembong Agung. Pusat kotanya berada di Leuwi Hideung, yang sekarang menjadi kecamatan Darmaraja.
Prabu Tajimalela memiliki tiga orang putra :
1. Prabu Lembu Agung
2. Prabu Gajah Agung
3. Sunan Geusan Ulun
Prabu Tajimalela memerintahkan kepada putranya yang dua, taitu Prabu Lembu agung dan Prabu gajah agung. Salah seorang harus menjadi Ratu, dan seorang lagi menjadi wakilnya. Tapi kata kakaknya, adiknya saja yang menjadi Ratu. Dan kata adiknya, kakaknya yang menjadi Ratu. Dua-duanya malah berselisih, dan tak ada yang menyanggupi menjadi seorang Ratu. Ayah mereka memerintahkan keduanya berangkat ke Gunung Nurmala, yang sekarang menjadi gunung Sangkanjaya. Kedua putranya diperintahkan harus menunggui pedang dan kelapa muda.
Prabu gajah agung kehausan, dan ketika kakaknya pergi ke sungai, dirinya meminum air kelapa muda tersebut. Keputusannya Prabu Gajah Agung dijadikan Ratu, dan kakaknya menetap di Leuwi Hideung.
Awalnya yang menjadi pengganti Prabu Tajimalela adalah Prabu Lembu Agung. Tetapi dirinya tidak sanggup menjadi Ratu dan meneyerahkan tahta kepada adiknya, Prabu Gajah Agung.
Kerajaan Sumedang Larang pindah ke daerah Ciguling (sekitar Sumedang Selatan), dan menjadikan pusat kotanya disana. yang mendirikannya adalah Prabu Gajah Agung.
Berdirinya nagara Sumedang Larang di Ciguling kurang lebih tahun 980. Prabu Gajah Agung meninggal dunia, makamnya di daerah Cicanting, Darmaraja.
Beliau meninggalkan dua orang putra, yaitu :
1. Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi, tidak menjadi Ratu karena pindah ke Pakuan Pajajaran.
2. Sunan Guling, yang meneruskan menjadi Ratu Sumedang Larang.
Prabu Gajah Agung meninggal dunia, dan digantika oleh anaknya Sunan Guling kurang lebih pada tahun 1000. Ketika Sunan Guling meninggal, beliau dimakamkan di Ciguling. Dan yang menjadi Ratu adalah Sunan tuakan, putra semata wayangnya. Sunan Tuakan dimakamkan di heubeulisuk, desa Cinanggerang, kecamatan Tanjungsari yang sekarang. Sunan Tuakan memiliki seorang Puteri namanya, Nyi Mas Ratu Patuakan yang seterusnya menggantikan ayahandanya memimpin kerajaan.
Setelah Nyi Mas Ratu Patuakan meninggal dunia, dan digantikan oleh putranya Nyi Mas Ratu Dewata (tahun 1530-1578). Beliau mendapat julukan Ratu Pucuk Umum.
Ratu Pucuk Umum menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra dari pangeran Pamalekaran, yang masih putra dari Aria Damar Sultan Palembang, yang masih memiliki darah Majapahit. Dari pihak ibunya, Ratu Martasari yang keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan adanya pernikahan Ratu Pucuk Umum dengan Pangeran Kusumahdianata, maka agama islam mulai menyebar di Sumedang Larang. Dari waktu itu, pusat kota dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Pangerang Kusumahdinata mendapat gelar Pangeran Santri. ia belajar di sebuah perguruan Agama islam di Cirebon, dan menyebarkan ilmunya di Sumedang Larang
Ratu Pucuk Umum memiliki enam orang anak dari pernikahannya dengan Pangeran Kusumahdianta, yaitu :
1. Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun)
2. Kiai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu dari Narimbang supaya memeluk agama Islam.
3. Kiai Demang Watang
4. Santowaan Wirakusumah
5. Santowaan Cikeruh
6. Santowaan Awiluar
Ratu Pucuk Umum dan Pangeran Santri dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede, di kota sumedang sekarang.
Tidak ada lagi yang menggantikan Ratu Pucuk Umum, kecuali anaknya yang pertama, yaitu Pengeran Angkawijaya (1579-1601)
Pada saat itu Pajajaran Galih Pakuan sedang mengalami konflik karena adanya serangan dari Banten yang dipimpin oleh Sultan Maulana yusuf, dalam rangka menyebarkan agama islam.
Dengan adanya penyerangan tersebut, rakyat Pajajaran Galih Pakuan melarikan diri ke berbagai tempat. Prabu Siliwangi mengutus Kandaga Lante untuk memasrahkan barang amanat kepada Prabu Geusan Ulun. Sesudah itu, Kandaga Lante diperintahkan oleh Prabu Geusan Ulun untuk bersama dengan rakyatnya mencari tempat perlindungan.
Kandaga Lante adalah prajurit-prajurit kepercayaan Prabu Siliwangi, yang diutus untuk menghadap Prabu Geusan Ulun, memasrahkan mahkota emas, benten, siger, tampekan, kilat bahu, kalung bersusun dua, dan kalung bersusun tiga.
Knadaga Lante yang empat adalah :
1. Sanghiyang Hawu, disebut juga Embah Jayaperkosa
2. Batara Dipati Dirawijaya, atau juga embah nangganan
3. Sanghiyang Kondang Hapa
4. Batara Pancar Buana, atau juga Embah Terong Peot
Dengan datangnya Kandaga Lante ke Sumedang Larang, hakikatnya adalah ciri bahwa nagara Pajajaran Galih Runtag (8 Mei 1779) masuk ke wilayah Sumedang Larang. Sehingga nagara Sumedang Larang menjadi bertambah luas, dari batas barat sungai Cisadane, batas timur sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta) batas dari utara laut jawa, dan batas dari selatan samudra hindia.
Ketika itu, sudah banyak rakyat yang menganut agama islam. Di Demak terucap ada sebuah perguruan yang terkenal, dan menjadi tempat penyebaran agama islam.
Prabu Geusan Ulun pergi ke Demak di kawal oleh Kandaga Lante. Maksudnya pergi ke Demak adalah berguru untuk mempelajari agama islam lebih dalam.
Sepulangnya berpesantren, Prabu Geusan Ulun sengaja singgah di Cirebon, untuk bersilaturahi menemui Panembahan ratu. Begitu bahagianya Panembahan ratu karena dapat bertemu dengan saudara jauhnya (masih keturunan Sunan Gunung Jati).
Prabu Geusan Ulun diperlakukan sangat sopan oleh para pengisi keraton Cirebon. Dan rakyat Cirebon memuji sikap Prabu Geusan Ulun yang bahasanya bagus, dll. Bahkan Ulama di Cirebon menyatakan bahwa Prabu Geusan Ulun adalah seorang pemimpin yang patut dicontoh, dan baik perilakunya.
Prameswari Panembahan Ratu, yang namanya Ratu Harisbaya, menyukai Prabu Geusan Ulun. Dan ikut ke Sumedang.
Suatu hari, Panembahan Ratu mengirim surat kepada Prabu Geusan Ulun untuk memulangkan Ratu Harisbaya ke cirebon. Hanya saja, Ratu harisbaya menolak pulang ke Cirebon, dan di cerai oleh Panembahan ratu. Untuk menebus perceraiannya itu, Prabu Geusan Ulun melepaskan wilayah sebelah timur sungai Cilutung.
Sampai pada tahun 1601 M. Prabu Geusan Ulun merupakan raja pamungkas Sumedang Larang, sebab nantinya Sumedang Larang Pada akhirnya tersisih oleh kerajaan Mataram, pangkat raja diganti menjadi Bupati.
Karena adanya perselisihan dengan Cirebon, pusat kota sumedang larang pindah ke gunung Rengganis. Di Dyeuh Luhur, Prbu Geusan Ulun dan Ratu Harisbaya meninggal dunia dan dikuburkan di sana.
Dari ketiga istinya, Prabu Geusan Ulun memiliki 15 anak, yaitu :
1. Pangran Rangga Gede
2. Raden Aria Wiraja
3. Kiai Kadu Rangga Gede
4. Kiai Rangga Patra Kalasa
5. Raden Aria Rangga Pati
6. Raden Ngabehi Watang
7. Nyi Mas Demang Cipaku
8. Raden Ngabehi Martayuda
9. Rd. Rg. Wiratma, di Cibeureum
10. Rd, Rangga Niti Nagara, di pagaden jeung pamanukan
11. Nyi Mas Rangga Pamade
12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
13. Rd. Suria Diwangsa
14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
15. Raden Kiai Demang Cipaku
Setelah kematian Prabu Geusan Ulun, Sumedang Larang dibagi menjadi dua, yaitu Sumedang yang dipegang oleh anak sulung dari pasangan Prabu Geusan Ulun dan Istri Pertamanya, pusat kotanya di Canukur, yang sekarang menjadi kecamatan situraja. Dan yang satunya lagi dipegang oleh Raden Suriadiwangsa anak dari Ratu Haribaya. Pusat kotanya di Tegal Kalong.
Bupati-Bupati Sumedang
Bupati di Zaman Mataram :
1. Pangeran Suriadiwangsa (Kusumahdinata III) Rangga Gempol 1 (1601-1625)
2. Pangeran Rangga Gede Kusumahdinata IV. (1625-1633)
3. Pangeran Kusumahdinata V, Rangga gempol II (1633-1659)
4. Pangran panembahan Kusumahdinata IV, Pangeran Rangga Gempol III
Bupati di zaman Kompeni (VOC)
1. Pangeran Kusumahdinata/Pangeran Karuhun (1709-1744)
2. Dalem Istri Raja Ningrat (1744-1759)
3. Dalem Kusumadinata VIII (Dalem Anom, 1759-1761)
4. Dalem Adipati Surianagara II (1761-1765)
5. Dalem Adipati Surialaga (1765-1773)
Bupati Penyelang
1. Dalem Adipati Tanubaya (1773-1789)
2. Dalem Adipati Patrakusumah
3. Dalem Aria Sacapati (1789-1791)
Para Bupati Keturunan Sumedang dan Seterusnya
1. Pangeran Surianagara (Kusumadinata) Pangeran Kornel (1791-1828)
Para Bupati Zaman Hindia Belanda/Jepang
1. Dalem Adipati Kusunayuda (1828-1833)
2. Dalem Kusumadinata (Dalem Alit, 1833-1834)
3. Patih Wakil Bupati Tmg. Suriadilaga (1834-1836)
4. Pangeran Suria Kusumah Adinata, pangeran Sugih (1836-1882)
5. Pangeran Aria Suria Atmaja, Pangeran Mekah (1882-1919)
“Baris Ka Sagala Barudak Sunda”
Aing neneda ka gusti Nu Maha Kawasa muga-muga ati maraneh dibukakeun kana panemu (elmu), lamun maraneh ngadenge papatah nu hade supaya tereh ngaharti sumawona kana papatah-papatah nu geus sababaraha taun dipapatahkeun supaya di imankeun wanti-wanti pisan.
Paneda aing ka Gusti Allah supaya maraneh pinaringan kabungahan jeung rejeki di dunia ieu tepi kana poe bungsuna (ajal), sarta muga dijauhkeun tina bahla jeung pinaringa umur panjang, kitu deui masing runtut rukun jeung baraya maraneh, muga ulah aya saurang oge maraneh nu ereun mikaheman sakabehna nu maparin ganjaran ka maraneh.
Cekel papatah aing ieu, supaya ulah aya saurang oge tina antara maraneh nu boga ati bingung lamun matak manggih bahaya nu kasebut di dieu, karana papatah aing ieu nyaeta buktina nu dipaparinkeun ka urang sarerea. Sarta lamun aing nerangkeun ka maraneh buktina tea, nyaeta saestu-estuna didatangkeunnana ku Nu Maha Kawasa.
Puguh maraneh dikawasakeun pikeunbisa narima isarat nu didatangkeun ku Gusti Allah ka maraneh.
Maraneh bisa maksa ngeureunkeun kalakuan nu goreng, karana Gusti Allah nu Kawasa nuduhkeun kana jalan nu mulus ka maraneh dilampah di dunia ieu.
Tangtu maraneh jadi conto pikeun diturutan ku sasama maraneh jeung tangtu sakabehna manusa sarukaeun ka maraneh.
Sarta beh dituna maraneh ngarasa bagja tepi ka anak incu.
Maraneh sarerea nu saendengna pada angarimankeun kana maksud aing tea, aing nyerenkeun eta papatah aing anu panungtungan, sakedah polah, karana aing ngarasa geus kolot moalsabaraha deui nya umur.
Kulantaran tulisan aing ieu supaya mangke dimana urang geus papisah, muga-muga maraneh jadi jalma pinter, bisa ngaji jeung ngingetkeun carita ieu, dipikir beurang jeung peuting.
Jeung beh dituna muga-muga bisa nurutan karuhun maraneh muga-muga bisa mindahkeun naon kakurangan diri maraneh muga salawasna diraksa.
Lamun maraneh geus ngarasa kapapatahan dulur cara aing kapapate nan ku karuhun aing, poma maraneh ulah rekpoho ngahormat, nulungan jeung nurut ka nu wajib pikeun maraneh narandakeun jalan kabeneran sanajan ku jalan sejen.
Eta panghormat aing panungtungan ka maraneh, samemehna nyawa aing dipundut ku Nu Kagungan.
Ku sabab eta nyawa aing di akherat moal era ku bangsa sasama aing, yen aing geus ditakdirkeun ku Gusti Allah dilantarankeun pitulungna Kangjeng Gouvernement dijadikeun purah mamatahan jeung ngajak ka maraneh sarerea.
Sakitu wae pamenta aing, kamaraneh sarerea supaya diturut.
Pangeran Aria Suria Atmaja
Comments
Post a Comment