Gn. Ungaran (2050 mdpl) bersama dewangga




Dusun Promasan
kami mengadakan reboisasi kecil-kecilan di daerah ungaran tepatnya dusun promasan.
sekitar 50 bibit pohon kami tanamkan di sekitar jalan dan tegalan.

kami sempat melintasi kebun teh dan kebun kopi warisan belanda. ya.. seperti biasa, warisan belanda.

dari informasi yang kami gali dari pengurus Base Camp, Pak Min. tempat ini sekarang dikelola oleh swasta.

tapi biasanya setahu saya (penulis), perkenbunan teh belanda yang dikelola ptpn akan menjadi hak milik negara.

setelah minggatnya belanda dari indonesia, kebun teh ini jadi milik jepang... ya begitu lah cerita kepindahan tangannya yang mengikuti sejarah perjuangan bangsa ini.

ada gua-gua jepang yang digali di bawah bukit-bukit teh ini, unik skali gua ini konon membelah bukit teh dari dalam tanah.

setelah masa-masa jepang, ujar pak min banyak sekali pelarian pki yang bersembunyi di pedalaman gn. ungaran ini, utamanya dusun promasan ini. banyak sekali yang dibunuh...

dari suatu tempat, tak ada yang lebih menarik melainkan sejarahnya. kisah-kisah yang terus abadi hidup di masyarakatnya.

tapi selain itu juga, ada banyak cerita-cerita horror dari kebun teh yang luas ini. bagi pendaki sebaiknya tidak usah menghiraukan kisah-kisah jahiliyah seperti yang dikisahkan Pak Min. maaf, bukannya saya tidak percaya oleh hal-hal mistis tapi saya lebih mempercayai keberadaan Tuhan dibanding hantu. sehingga saya kira akan lebih banyak keburukannya jika saya menceritakan hal ini seperti yang Pak Min ceritakan kepada kami

desa kecil ini. tanpa aliran listrik, tanpa sinyal hp...
masih bisa hidup tentram dan warganya bekerja sebagai pencabut daun teh yang digaji perhari sebesar 20.000 rupiah dan upah 400 rupiah untuk sekilo daun teh.

dalam acara sharing bersama Pak Min, kami banyak sekali mendapatkan ceritera-ceritra unik dan lucu. di desa terpencil yang dingin ini mudah saja kita temui kehangatan dari warga-warganya.

 Mapala Dewangga foto bersama Pak Min di depan base camp

Pendakian
dalam perjalanan menuju puncak gn. ungaran, ada banyak sekali kisah-kisah yang tidak menarik jika hanya dibaca lewat tulisan pendek ini. alamnya indah, dan kemudahan mendapatkan air bersih juga mudah. di awal perjalanan jalannya landai dan bertanahkan lempung.

kami melewati sungai kecil yang indah dan setelah itu mulailah trek yang sangat ugal-ugalan dengan istilah "-almost- vertical trekking" (apa ya nama istilah nya) kami menuju puncak itu sudah seperti naek tangga aka. taraje (sunda)

tas yang kubawa tidak terlalu berat. tapi entahlah bagaimana kisah teman-temanku yang mendaki dengan carrier besar, sangat berat tentunya.

dalam malam 21 bulan masih separuh dan gerimis kabut tipis mulai turun sedikit ada alunan musik sederhana yang menemani malam hari kami. malam 21 ini terasa sangat dramatis. bulan malu-malu kucing bersembunyi dibalik kabut, entah kabut yang cari perhatian menghalangi bulan sepotong di langit sana.

sayangnya tidak ada foto yang sempat diambil dalam pendakian karena cuaca sedang gerimis dan hari sudah sangat gelap.

menemani pendakian kami yang terasa sendu playlist dari speaker aktif kecil tak pernah melaju dari lagu-lagu lawas. aneh.


lirik Cahaya Bulan:
Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
Cahaya kota kelam mesra menyambut sang petang
Di sini ku berdiskusi dengan alam yg lirih 
Kenapa matahari terbit menghangatkan bumi
Aku orang malam yg membicarakan terang 
Aku orang tenang yg menentang kemenangan oleh pedang
Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang 
Cahaya nyali besar mencuat runtuhkan bahaya 
Di sini ku berdiskusi dengan alam yg lirih 
Kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi
Aku orang malam yg membicarakan terang 
Aku orang tenang yg menentang kemenangan oleh pedang
Cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan 
Yg takkan pernah ku tau dimana jawaban itu
 Bagai letusan berapi bangunkan ku dari mimpi 
Sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati
Terangi dengan cinta di gelapku 
Ketakutan melumpukanku 
Terangi dengan cinta di sesatku 
Dimana jawaban itu

*ilustrasi

Puncak
setelah bebatuan terjal dan licin di malam hari, tanpa kami duga ternyata kami sampai di puncak malam itu dan dalam gerimis langsung mendirikan tenda. rintik hujan, angin dingin dan gelap adalah hal yang menyenangkan jika dilewati bersama.

ada dua pendaki lain yang sudah sampai puncak di saat yang hampir bersamaan dengan kami dan mereka sudah mendirikan tenda, dengan cepat. tapi ternyata tenda kami sedang patah tulang, sehingga harus di lakban sana-sini. dan inilah pengobatan manjur untuk patah tulang terhadap frame tenda ._.


setelah tenda sukses didirikan, kami lalu makan malam dengan mie (pendaki mana yang tidak bawa mie?) dan ngobrol-ngobrol bersama dosen pembimbing kami. ajaibnya, saat makan malam hujan gerimis tadi mendadak hilang dan kami bisa menikmati kota semarang dari ketinggian 2050

 *ilustrasi

Selamat Pagi Para Pendaki
entah sudah berapa kali alarm menyala dan mati tanpa ada yang menghiraukan. dari dalam tenda dibalik sleeping bag masih meringkuk para pendaki kelelahan. kami berencana melihat sunrise di pukul 5 dan bersegera untuk sarapan dan berkemas, tapi cahaya mentari sudah menerobos tenda selagi kami masih meringkuk di dalam sleeping bag.

dengan malas semua pendaki terpaksa bangun dan menyiapkan sarapan. dan saat melihat ke luar ternyata ada banyak pendaki lain yang sudah mendirikan tenda.

 *Betet membagi sardin
  *Betet dan Kadafi menyantap mie
  *dimakan bersama-sama jadi enak
  *Glen, Betet dan Kadafi setelah perut terisi
  *Mas Eddy, Mas Sigit dan Kancil
 *Rangrang dan Cipluk
Berkemas
karena keterlambatan  membuka mata, jadwal menjadi sedikit bergerser, kami berkemas dan menuntaskan urusan kami di puncak dengan segera (foto-foto)
  *menghitung carrier
   *meronce botol kosong
   *berfoto di balik tenda

  *bergaya bersama botol
  *Betet, Rangrang, dan Plontong dengan kaos GAMADA
   *foto akbar para pendaki di puncak gunung ungaran

Tunggang Gunung
turun gunung dan melihat jalan seperti apa yang kita daki di malam hari adalah hal yang mngejutkan dan tidak pernah terduga. ternyata jalan yang kami daki seperti ini ya, ternyata pemandangannya indah, ternyata jalannya menyeramkan


   *masih dengan roncean botol kosong
   *cipluk bergaya
   *Glen menuruni tebing dengan berhati-hati


inilah indah yang terselimuti gelap di malam hari   
bukit berbunga


 



catatan akhir:
Rumah Tak Berpintu
dalam tiap pendakian ada satu keikhlasan warganya untuk 'mencopot pintu rumahnya' dan mempersilakan siapa saja untuk singgah dan melepas lelah.

"kalo ke rumah saya, gak usah bilang salam, gak usah amit dulu langsung masuk aja. rumah ini milik semua, saya ikhlas ko. toh nanti harta benda gak akan di bawa saat mati" -Pak Min
pecinta alam

Comments

Popular posts from this blog

WARJOK : great place to remember

pengalaman ke Giggle Box jatinangor

Sumedang Larang