Kemarau Panjang
Senin hari pertama masuk sekolah, hujan lebat turun. Anak-anak
sekolah melipat seragam bawahannya supaya tidak terkena cipratan air hujan.
Sementara aku pagi itu duduk manis di
dalam angkot bermain dengan uap air yang menempel di jendela. Kekanak-kanakan
memang, tapi itu adalah hal yang menyenangkan.
Aku melihat pohon-pohon yang meringis ditimpa air hujan di pinggir
jalan sana, daun-daunnya malah rontok berjatuhan. Barangkali hujan pagi ini
sedikit kejam. Tapi betapa bahagianya, karena aku membayangkan senin ini bebas
dari upacara bendera.
Kuhapus semua coretan di jendela angkot itu. Jendelanya sekarang
bersih seperti cermin. Dari pantulan jendela, aku melihat anak lain
memerhatikanku, dia mengenakan jaket merah dan seragam putih yang sama
sepertiku. Aku melihat rambut pendeknya sedikit basah dengan payung panjang di
sebelahnya.
Saat turun dari angkot dan hendak membayar. Aku melihat anak
laki-laki berjaket merah itu bersalaman dengan wanita paruh baya yang duduk di
sebelahnya sedari tadi. Wanita itu barangkali ibunya.
Itu adalah pertemuan pertamaku dengan seseorang yang kelak aku
sebut sahabat. Barangkali seangkot dengan teman sekelas dihari pertama masuk
sekolah seperti pertanda baik untukku. Hari itu, aku yang pendiam jadi punya
teman bicara saat kelas masih kosong dan hanya berisi suara-suara hujan dari
luar.
Kami tidak membicarakan banyak hal. Hanya setahuku kami berdua
sama-sama menyukai kegiatan mendaki gunung. Dan hanya hal itu yang mengakrabkan
kami, selebihnya kita berdua kelak adalah rival yang saling menjatuhkan untuk
merebut nominal pelajaran dan ujian.
Sudah lima musim kami saling mengenal, ada banyak imajinasi yang
kita bagi, ada banyak butiran nasi yang kita makan. Tahun itu di musim hujan
yang tak jauh berbeda, kami duduk di bangku yang berjauhan. Aku menyalakan mp3
ku dan dia membuka buku pelajarannya. Hujan masih turun sejak semalam. Aku
belum melepas jaketku.
Dia sangat fokus dengan pensil dan bukunya, sementara aku, tanpa
kusadari aku memperhatikan dia tiap menitnya. Apa aku menyukainya? Pikirku
dalam hati. Tapi aku menepis jauh-jauh pikiran itu. Aku berdiri dan menghampiri
dia untuk mengganggunya.
Dia tak keberatan jika menyenggol tangannya sehingga ada coretan
lebar membelah kertasnya, dia akan membalasku sebentar lagi, atau dia tak
keberatan jika jaket merahnya aku tarik sehingga ada bekas merekah di kainnya,
dia akan membalasku sebentar lagi.
Tapi tidak setiap hari aku menjahili dia seperti itu. Dipagi yang
lain aku membawakannya coklat panas dari rumah atau susu murni kesukaannya.
Kita seringkali menikmati pagi di kelas berdua sebelum teman-teman yang lain
datang.
Tapi ada satu perubahan fantastis saat musim terakhir aku tinggal
di sekolah. Dia tak mau aku ajak bercanda, dia juga tidak berbicara. Dia menjadi
sensitif jika saat belajar paginya aku ganggu, dia akan menghindar dengan muka
yang masam.
Aku merasa kehilangan. Apa aku ada salah padanya? Tapi dia tak
kunjung beri aku kesempatan untuk bertanya. Apa dia sudah mengibarkan bendera
persaingan ketat? Aku lalu duduk dan mematikan mp3ku. Mulai membuka buku sama
seperti apa yang dia lakukan selama tiga tahun ini.
Tapi aku sudah sama fokusnya seperti dia, hanya saja aku tak pernah
behenti memperhatikannya tiap menit. Pagi itu sebenarnya aku membawa coklat
panas, tapi aku tak berani untuk mendekati bangkunya. Bukan hanya pelajaran
yang melintas-lintas di pikiranku. Tapi sikap dia juga seringkali menjadi bahan
pikiran yang tak kunjung berakhir.
Lama-lama aku jadi benci dia. Aku siap menelikung nilai
pelajarannya, tapi seringkali jatuh di pelajaran matematika. Nilaiku bagus saat
pelajaran sejarah, tapi dia mengungguliku di bahasa indonesia karena sanggup
membawakan puisi Aku-Chairul Anwar tanpa teks. Aku berjuang berlipat ganda saat
pelajaran olahraga, dan dia selalu saja menjentikan jari saat aku menopang
dagu.
Dia mengungguliku musim ini, musim terakhir ini.
Musim hujan ini
sudah tak ubahnya kemarau panjang
Meranggaskan
tapal mimpi
Merintikan debu
dari awan-awan di langit
Aku kehilangan hujan
tiap pagi
Dan coklat
panas mengering dalam cangkirnya
Jogjakarta, saat musim sedang kemarau.
Baru saja aku melangkah 3 bulan dari musim hujan kemarin. Tahun
ini, kemarau sudah dua kali lebih panjang dari biasanya. Tapi itu hanya
perasaanku saja. Kemarau panjang.
Aku sekarang tinggal di Jogjakarta, kota yang sebenarnya tak pernah
aku pikirkan, tapi selalu masuk dalam impian. Hal yang aku senangi di sini
berjalan di bawah pohon-pohon akasia di sore hari saat angin kemarau
menghembuskan rasa hangat yang menyentuh kalbu.
Saat pohon akasia berakhir di ujung jalan, blok yang lain akan
menyambutku dengan jajaran pohon trembesi muda. Aku lalu duduk bersandar dengan
sebotol air jeruk dingin dan keringat mengucur di dahiku.
Pikiranku berada di tempat sejuk saat matahari menerpa bumi jogja
ini. jarang sekali rivalku masuk dalam pikiran. Hanya saat aku melihat awan
kelabu mulai berarak. Aku berharap hujan mau turun di sini. Tapi masih terlalu
cepat untuk menyambut musim hujan.
Kemarau bagiku sudah terasa satu tahun. Dan panas mulai
berlaku kurang ajar, bagaimanapun juga,
aku merindukan hujan. Tapi awan kelabu itu tak pernah berhenti di atas
kepalaku. Mereka berarak ke suatu tempat yang aku tak bisa meraihnya.
Aku menggapai langit semoga awan hujan menurunkan talinya dan mau
berlabuh di sini. Tapi mereka semua hanya melintas. Aku menjilati senja untuk
merasakan apakah ada kelembaban hujan yang biasa aku rasakan.
Tapi lidahku ternyata tak merasakan kelembaban, hanya rasa asin,
manis, asam, dan pahit. Dekat dengan pohon akasia, aku menengadahkan pandangan.
Capung-capung terbang bebas dan tinggi di udara. Dan awan-awan hujan lagi-lagi
hanya melintas saja.
Disatu sore yang diliputi mendung, akhirnya untuk pertama kalinya
hujan turun dengan sangat deras di luar sana, sama derasnya seperti beberapa
musim lalu. Aku membuat coklat panas seperti biasa aku membuat dan meminumnya
sambil bersembunyi dari cipratan air hujan.
Tapi, meski hujan turun dan segelas coklat panas dalam cangkir, ada
yang berbeda dari hujan kali ini. aku salah mengungkapkan rinduku selama ini.
aku bukan merindukan hujan, tapi merindukan rivalku yang biasa menghabiskan
waktu di saat hujan bersamaku. Tapi dia seolah pergi ke tempat yang tak bisa
aku raih dari jauh sini.
Aku termenung beberapa saat, musim hujan sudah kembali datang. Tapi
rivalku masih tak bisa aku jangkau. Ada kabut di sekat jendela, menghapusnya
dan berharap bisa melihat ada sosok berjaket merah dalam pantulan kaca itu.
Tapi tak ada siapa-siapa.
Awan kini hanya
bawakan syahdu
Hujan pun sudah
tak tawarkan rindu
Pohon-pohon menunduk
lesu
Dan aku yang
semakin tua merindu waktu
Comments
Post a Comment