Edelweiss yang Gugur di Tapak Pendaki
“KAK!” tak kusadari aku berteriak dalam mimpiku. Diselimuti
panas dan keringat dingin, kucoba memejamkan mata lagi. Tapi tak kunjung
terlelap. Aku mengikat rambut panjangku dan duduk di tepian ranjang, selang
infus membuatku meringis ngilu saat mengikatnya.
Aku baru saja selamat dari oprasi SAR di gunung . Saat hujan
lebat, aku terpisah dari temanku. Ada sebotol air bersih, secangkir beras,
jaket, spirtus dan lainnya yang aku bisa mengingat.
Entah kuambil persimpangan mana yang tidak kumengerti,
seorang gadis sedang tersesat di gunung. sore itu, kehilangan jalan setapak.
Hujan... kelaparan. Aku harusnya panik. Menangis dan berlari di sana mencari
kawan. Aku bisa saja mati membusuk hingga jasadku tinggal tulang belulang di
sini
Kupaksakan diriku berteduh dalam cerukan batu, yang gelap
dan menyeramkan. Aku harus meringkukan kakiku hingga terbungkus beku. Sore
tiba-tiba menjadi gelap. Dalam mantel yang mulai mengembun. Kedinginan,
kesulitan bernafas, dan kaki yang keram. Terpaksa aku mengunyah beras dan benda
lain untuk menahan gemeletuk gigiku. Jemari mulai membiru, pikiran burukku
terus meluap dan menjadi halusinasi. Aku terlelap dengan mimpi dalam selimut
biru hangat di rumah. Selimut mewah yang membungkusku lalu membekapku hingga
tubuhku jadi biru dan kaku. Beruntung pakaianku masih kering, tapi dinginnya
udara tak terperi, aku jadi terbangun lagi. Hari belum berganti.
Aku malah tak pernah mengingat apa yang terjadi sebelumnya, selain
ada beberapa unggas yang mematuki ubun-ubun kepalaku, dan aku sadar jika itu
hanya halusinasi. Aku sempat panik, tapi lama-lama kunikmati rasa sakitnya,
karena aku yakin itu hanya halusinasi. jika Edelweiss tidak menemukanku
tergeletak begitu saja di tempat entah di mana. Aku yang sedang dehidrasi,
kelaparan, dan tak sanggup bergerak, mungkin sore nanti sudah mulai menjadi
jasad yang tak lagi bernyawa.
Edelweiss, hanya nama samaran. Laki-laki muda yang tak
pernah kubayangkan jadi tangan yang diutus Tuhan untuk menyelamatkanku. Dalam
cerukan saat waktu sedang hujan. Ia berjongkok dan bergumam dengan nyanyian
yang menenangkan. Seperti nina bobo saat aku kecil. Kupandangi punggungnya.
Masih terngiang saat ia berkata kalau ia juga tersesat di gunung. Kutarik ujung
pakaiannya, ia menoleh dan menggenggam tanganku. Tangan yang sama dinginnya
dengan milikku. Aku yakin ia bukan halusinasi karena ia sama-sama sedang merasa
dingin sepertiku.
Tapi orang-orang di sini bilang ia hanya pernah ada, sebelum waktuku. Tapi
bersamanya, aku kembali ke tapak pendaki. Matanya sayu kelelahan, tapi aku
ingat senyumnya, seperti Edelweiss yang mekar di bulan Mei begitu menawan. Tapi
itu tak sedikitpun tampak meyakinkan mereka, bahwa aku kembali bersama
Edelweiss. Menelusuri setapak dalam gontai dan hujan. Saat kami mulai
kelelahan, dan beristirahat di bawah pohon. Tim sar menemukan kami. Aku hanya
sedang tertidur, dan tidurku terlalu nyenak untuk dibangunkan, aku bukan koma
seperti ujar mereka. Saat itu edelweiss masih ada di sampingku, tapi mereka
bilang edelweiss tak pernah ada di sana.
Saat Edelweiss gugur di tapak pendaki,
Saat hujan dan dingin tiada terperi,
Saat langkah gontai karena dehidrasi,
Untukmu ...
Berhati-hati ketika di gunung nanti
Karena maut...
Karena maut tak pernah salah memilih,
Tak pernah salah alamat,
Tak pernah salah waktu dan tempat.
Untuk Edelweiss gugur di tapak pendaki
Ia tak kan pernah kembali
Selain hanya ingatan juga memori
Dan zaman membuatnya jadi pelajaran
Comments
Post a Comment