Mahsyar
Dalam remang kampus disenja hari, gerimis masih turun sedari
siang. Tinggal kami bertiga; Aku, Dinar, dan Aldi yang saling duduk melingkar
di lorong menunggu gerimis reda sembari bercerita.
Mulai dari tukang baso di jalan hingga hal yang tak pernah
kami pikirkan sebelumnya, bagaimana kita akan mati dan apa yang akan terjadi
pada kita setelah kita mati.
Ini adalah kisah tentang mimpi juga. Yang hadir saat tidur
lelap, atau meresap saat kita sadar. Bayangan-bayangan tentang alam yang bukan
dunia.
Dinar bercerita, saat itu ia sedang tidur, tapi dalam
mimpinya, ia melihat badannya yang terbungkus kafan putih, ia melihat jasad
ayahnya, dan orang-orang terkasihnya tergolek tak berdaya dalam tempat gelap
yang tak berbatas.
Ia melihat lagi orang-orang seperti semut satu persatu
melintasi sebuah jembatan dan banyak diantaranya malah terjatuh dan masuk ke
dalam perapian.
Ia berulang kali mengatakan kalau hidup di dunia ini hanya
sebidang persegi panjang. Kau akan lahir, menjalani hidup, dan di ujung jalan,
kau akan menghadapi kematian... lalu... ia berhenti berkata-kata, ada
fatamorgana di matanya. lalu apa yang terjadi selanjutnya... kita tidak tahu.
Aku... sebenarnya pernah juga punya mimpi-mimpi tentang alam
yang bukan dunia seperti ini. Tentang mahsyar. Nanti aku ceritakan.
Dalam gelap, dinar melihat ada dua cahaya yang datang.
Melihatnya begitu menggetarkan hati. Mereka berbicara, berbicara yang ia
mengerti maksudnya apa. Berbicara tapi tanpa kata. Kurang lebih ia berkata
“sudah puas hidup di dunia?” lalu ia tak bisa menjawab pertanyaannya.
Lalu bagaimana jika dua cahaya itu menanyakan hal yang sama
kepadaku. “sudah puas hidup di dunia?” apa yang akan aku jawab kira-kira? Apa
yang akan kamu jawab? Aku termenung memikirkan jawaban yang jujur. Mataku ikut
berkaca-kaca.
Di mahsyar. Aku pernah punya bayangan, bayangan yang tak aku
ingat apakah itu mimpi atau hanya pikiranku saja. Dalam jutaan barisan
orang-orang yang tak aku kenal, aku menangis. Menangis tak berair mata, tersedu
sedan, aku teringat ibuku, aku tak bisa bersamanya di sana, aku tak bisa
menolongnya, aku tak bisa bekerja sama dalam sebuah tim. Semua orang pada
dirinya sendiri.
Sementara dinar di tempat lain ia... ia melihat dengan jelas
wajah-wajah di sekitarnya. Ada yang bopeng-bopeng, dan hancur. Ia berkata kalau
ia melihatku... ia melihatku menangis di sana...
Menangis karena selalu terpikirkan bagaimana jika ibuku
masuk surga dan aku tidak, sementara tidak ada hal lain yang bisa menolongmu selain
dirimu sendiri dan amal perbuatanmu semasa hidup di dunia.
Menangis bagaimana jika... kita terpisah dengan orang-orang
yang kita kasihi di kehidupan kelak.
Comments
Post a Comment